Pelaksanaan
demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli
1959.
Latar
Belakang dikeluarkan dekrit Presiden :
Demi
menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan
keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal
dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan
masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan
negara.
Isi
Dekrit Presiden adalah sebagai berikut.
a. Pembubaran
konstituante
b. Tidak
berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
c. Pembentukan
MPRS dan DPAS
Reaksi
dengan adanya Dekrit Presiden:
Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah
sebagai berikut.
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah
sebagai berikut.
B.
PELAKSANAAN DEMOKRASI TERPIMPIN
Demokrasi
Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966,
yaitu dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya
kekuasaan Sukarno.
Disebut Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia
saat itu mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Sukarno.
Terpimpin
pada saat pemerintahan Sukarno adalah kepemimpinan pada satu tangan
saja yaitu presiden.
Tugas
Demokrasi terpimpin :
Demokrasi
Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil
sebagai warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih
mantap/stabil.
Demokrasi
Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer/Liberal. Hal
ini disebabkan karena :
Dampaknya: Penataan kehidupan politik menyimpang dari tujuan awal, yaitu
demokratisasi (menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi
sentralisasi (pemusatan kekuasaan di tangan presiden).
Pelaksanaan
masa Demokrasi Terpimpin :
Penyimpangan-penyimpangan
pelaksanaan Demokrasi terpimpin dari UUD 1945 adalah sebagai berikut.
1. Kedudukan
Presiden
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden
berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya bertentangan
dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada
Presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal
tersebut tampak dengan adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua
MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil
ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta
wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak
memimpin departemen.
2. Pembentukan
MPRS
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan
Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Tindakan tersebut bertentangan
dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945 pengangkatan
anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan
umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki
anggota-anggota yang duduk di MPR.
Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh
Presiden dengan syarat :
Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada
perjuangan Republik Indonesia, dan Setuju pada manifesto Politik.
Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota
DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200 orang wakil golongan.
Tugas MPRS terbatas pada menetapkan
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
3. Pembubaran
DPR dan Pembentukan DPR-GR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu
tahun 1955 dibubarkan karena DPR menolak RAPBN tahun 1960 yang diajukan
pemerintah. Presiden selanjutnya menyatakan pembubaran DPR dan sebagai
gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR). Dimana semua anggotanya ditunjuk oleh presiden. Peraturan
DPRGR juga ditentukan oleh presiden. Sehingga DPRGR harus mengikuti
kehendak serta kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebut bertentangan
dengan UUD 1945 sebab berdasarkan UUD 1945 presiden tidak
dapat membubarkan DPR.
Tugas DPR GR adalah sebagai berikut.
4. Pembentukan
Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)
dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.3 tahun 1959. Lembaga ini
diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri atas satu orang
wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan
24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah
memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada
pemerintah.
Pelaksanaannya kedudukan DPAS juga berada
dibawah pemerintah/presiden sebab presiden adalah ketuanya. Hal ini
disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan suara bulat agar pidato
presiden pada hari kemerdekaan RI 17 AGUSTUS 1959 yang berjudul ”Penemuan
Kembali Revolusi Kita” yang dikenal dengan Manifesto
Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan
sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1 tahun 1960. Inti Manipol adalah USDEK
(Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal
dengan MANIPOL USDEK.
5. Pembentukan
Front Nasional
Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan
Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi
massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang
terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan
segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan
pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri.
Tugas front nasional adalah sebagai berikut.
6. Pembentukan
Kabinet Kerja
Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet
Kerja. Sebagai wakil presiden diangkatlah Ir. Juanda. Hingga
tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan (reshuffle). Program
kabinet ini adalah sebagai berikut.
7. Keterlibatan
PKI dalam Ajaran Nasakom
Perbedaan ideologi dari partai-partai yang
berkembang masa demokrasi parlementer menimbulkan perbedaan pemahaman
mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdampak pada
terancamnya persatuan di Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin
pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM
(Nasionalis, Agama, dan Komunis). Tujuannya untuk
menggalang persatuan bangsa.
Bagi presiden NASAKOM merupakan cerminan paham
berbagai golongan dalam masyarakat. Presiden yakin bahwa dengan
menerima dan melaksanakan Nasakom maka persatuan Indonesia akan
terwujud. Ajaran Nasakom mulai disebarkan pada masyarakat. Dikeluarkan
ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat kedudukan
Presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak presiden.
Kelompok yang kritis terhadap ajaran Nasakom
adalah kalangan cendekiawan dan ABRI. Upaya penyebarluasan ajaran
Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa PKI merupakan
barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut menyebabkan
ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara
serta mengeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis. Selain
itu PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah.
PKI berhasil meyakinkan presiden bahwa Presiden Sukarno tanpa PKI akan
menjadi lemah terhadap TNI.
8. Adanya
ajaran RESOPIM
Tujuan adanya ajaran RESOPIM (Revolusi,
Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional) adalah untuk memperkuat
kedudukan Presiden Sukarno. Ajaran Resopim diumumkan pada peringatan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16.
Inti dari ajaran ini adalah bahwa seluruh unsur
kehidupan berbangsa dan bernegara harus dicapai melalui revolusi,
dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan nasional
yang disebut Panglima Besar Revolusi (PBR), yaitu Presiden Sukarno.
Dampak dari sosialisasi Resopim ini
maka kedudukan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara ditetapkan
dibawah presiden. Hal ini terlihat dengan adanya pemberian pangkat
menteri kepada pimpinan lembaga tersebut, padahal kedudukan menteri
seharusnya sebagai pembantu presiden.
9. Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia
TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas 4 angkatan yaitu
TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan Angkatan
Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima
Angkatanyang kedudukannya langsung berada di bawah presiden. ABRI
menjadi salah satu golongan fungsional dan kekuatan sosial politik
Indonesia.
10. Pentaan
Kehidupan Partai Politik
Pada masa demokrasi Parlementer, partai dapat
melakukan kegiatan politik secara leluasa. Sedangkan pada masa demokrasi
terpimpin, kedudukan partai dibatasi oleh penetapan presiden No. 7
tahun 1959. Partai yang tidak memenuhi syarat, misalnya jumlah anggota
yang terlalu sedikit akan dibubarkan sehingga dari 28 partai yang ada
hanya tinggal 11 partai.
Tindakan pemerintah ini dikenal dengan
penyederhanaan kepartaian.
Pembatasan gerak-gerik partai semakin
memperkuat kedudukan pemerintah terutama presiden. Kedudukan presiden
yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya untuk membubarkan 2 partai
politik yang pernah berjaya masa demokrasi Parlementer yaitu Masyumi dan
Partai Sosialis Indonesia (PSI). Alasan pembubaran partai tersebuat
adalah karena sejumlah anggota dari kedua partai tersebut terlibat dalam
pemberontakan PRRI dan Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan
pada tanggal 17 Agustus 1960.
11. Arah
Politik Luar Negeri
a. Politik
Konfrontasi Nefo dan Oldefo
Terjadi penyimpangan dari politik luar negeri
bebas aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu poros. Saat
itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada
negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo
(New Emerging Forces) dan Oldefo (Old
Established Forces)
Nefo merupakan kekuatan baru yang
sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk
Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang anti imperialisme dan
kolonialisme.
Oldefo merupakan kekuatan lama yang
telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan
imperialis (Nekolim).
Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros
Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang gerak
Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman
ke negara-negara komunis.
b. Politik
Konfrontasi Malaysia
Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi
dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak setuju
dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek
neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara
blok Nefo.
Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden
mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang
isinya sebagai berikut.
Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan
sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan adanya campur
tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
c. Politik
Mercusuar
Politik Mercusuar dijalankan oleh presiden
sebab beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat
menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.
Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan
proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan
Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek
tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran rupiah
diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging
Forces ) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan
serta biaya perjalanan bagi delegasi asing.
Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar
dari keanggotaan PBB sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap
Dewan Keamanan PBB.
d. Politik
Gerakan Non-Blok
Gerakan Non-Blok merupakan gerakan
persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak
terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur.
Selanjutnya gerakan ini memusatkan
perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan
mencegah perluasan Perang Dingin.
Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan
bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia sudah cukup maju.
GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung
perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi RI, GNB merupakan pancaran dan
revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan internasional.
Besarnya kekuasaan Presiden dalam Pelaksanaan
demokrasi terpimpin tampak dengan:
a. Pengangkatan
Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan
wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar
serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang
tidak memimpin departemen.
b. Pidato
presiden yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada tanggal 17
Agustus 1959 yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol)
ditetapkan sebagai GBHN atas usul DPA yang bersidang tanggal 23-25
September 1959.
c. Inti
Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL
USDEK.
d. Pengangkatan
Ir. Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang berarti sebagai
presiden seumur hidup.
e. Pidato
presiden yang berjudul ”Berdiri di atas Kaki Sendiri” sebagai pedoman
revolusi dan politik luar negeri.
f. Presiden
berusaha menciptakan kondisi persaingan di antara angkatan, persaingan
di antara TNI dengan Parpol.
g. Presiden
mengambil alih pemimpin tertinggi Angkatan Bersenjata dengan di bentuk
Komandan Operasi Tertinggi (KOTI).
C. SISTEM
EKONOMI DEMOKRASI TERPIMPIN
Seiring
dengan perubahan politik menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun
mengikuti ekonomi terpimpin. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian
dari demokrasi terpimpin. Dimana semua aktivitas ekonomi
disentralisasikan di pusat pemerintahan sementara daerah merupakan
kepanjangan dari pusat. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk menunjang
pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut.
1. Pembentukan
Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas)
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di
bawah Kabinet Karya maka dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas)
pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh. Yamin dengan anggota
berjumlah 50 orang.
Tugas Depernas :
Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depenas
berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-undang Pembangunan Nasional
Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh MPRS.
Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai
perencanaan dan pembangunan proyek besar dalam bidang industri dan
prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan.
1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas)
diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang
dipimpin oleh Presiden Sukarno.
Tugas Bappenas adalah
2. Penurunan
Nilai Uang (Devaluasi)
Tujuan dilakukan Devaluasi :
Maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah
mengumumkan keputusannya mengenai penuruan nilai uang
(devaluasi), yaitu sebagai berikut.
a. Uang
kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50
b. Uang
kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100
c. Pembekuan
semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak
mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang semakin jauh, terutama
perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di seluruh
Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut.
Pada masa pemotongan nilai uang memang
berdampak pada harga barang menjadi murah tetapi tetap saja tidak dapat
dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal ini
disebabkan karena :
3. Kenaikan
laju inflasi
Latar Belakang meningkatnya laju inflasi :
Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan
karena:
Dampaknya :
Kebijakan pemerintah :
Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut :
4. Deklarasi
Ekonomi (Dekon)
Latar belakang dikeluarkan Deklarasi Ekonomi
adalah karena:
Sehingga pada tanggal 28 Maret 1963
dikeluarkan landasan baru guna perbaikan ekonomi secara menyeluruh yaitu
Deklarasi Ekonomi (DEKON) dengan 14 peraturan
pokoknya.
Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar
ekonomi Terpimpin Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum
revolusi Indonesia.
Strategi Dekon adalah mensukseskan
Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang polanya telah diserahkan
oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960.
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sistem
ekonomi Indonesia adalah Berdikari yaitu berdiri
diatas kaki sendiri.
Tujuan utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan
ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa
imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara
terpimpin.
Pelaksanaannya,
Kegagalan Peraturan Pemerintah disebabkan
karena:
5. Meningkatkan
Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri
Pemerintah membangkitkan ekonomi agraris atau
pertanian, sebab kurang lebih 80% penduduk Indonesia hidup dari bidang
pertanian. Hasil pertanian tersebut diekspor untuk memperoleh devisa
yang selanjutnya digunakan untuk mengimpor berbagai bahan baku/ barang
konsumsi yang belum dihasilkan di Indonesia.
Jika Indonesia tidak mampu memperoleh
keuntungan maka akan mencari bantuan berupa kredit luar negeri guna
memenuhi biaya import dan memenuhi kebutuhan masyarakat di dalam negeri.
Sehingga Indonesia mampu memeprbesar komoditi ekspor, dari eksport
tersebut maka akan digunakan untuk membayar utang luar negeri dan untuk
kepentingan dalam negeri. Dengan bantuan kredit tersebut membuka jalan
bagi perdagangan dari negara yang memeberikan pinjaman kepada Indonesia.
6. Kebijakan
lain pemerintah
a. Pembentukan
Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP)
Dikeluarkan peraturan tanggal 17 April 1964
mengenai adanya Komando Tertinggi Operasi Ekonomi
(KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP) dalam usaha
perdagangan.
b. Peleburan
bank-bank negara
Presiden berusaha mempersatukan semua bank
negara ke dalam satu bank sentral sehingga didirikan Bank Tunggal Milik
Negara berdasarkan Penpres No. 7 tahun 1965.
Tugas bank tersebut adalah sebagai bank
sirkulasi, bank sentral, dan bank umum.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka
dilakukan peleburan bank-bank negara seperti Bank Koperasi dan Nelayan
(BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke
dalam Bank Indonesia.
Dibentuklah Bank Negara Indonesia
yang terbagi dalam beberapa unit dengan tugas dan pekerjaan
masing-masing.
Tindakan itu menimbulkan spekulasi dan
penyelewengan dalam penggunaan uang negara sebab tidak ada lembaga
pengawas.
Kegagalan pemerintah dalam
menanggung masalah ekonomi, disebabkan karena:
D. PERJUANGAN
MEMBEBASKAN IRIAN BARAT
Ada
3 bentuk perjuangan dalam rangka pembebesan Irian Barat : Diplomasi,
Konfrontasi Politik dan Ekonomi serta Konfrontasi Militer.
1. Perjuangan
Diplomasi
Ditempuh guna menunjukkan niat baik Indonesia
mandahulukan cara damai dalam menyelesaikan persengketaan. Perjuangan
tersebut dilakukan dengan perundingan. Jalan diplomasi ini sudah dimulai
sejak kabinet Natsir (1950) yang selanjutnya dijadikan
program oleh setiap kabinet. Meskipun selalu mengalami kegagalan sebab
Belanda masih menguasai Irian Barat bahkan secara sepihak memasukkan
Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan Belanda.
Perjuangan secara diplomasi ditempuh dengan 2
tahap, yaitu
e. Secara
bilateral, melalui perundingan dengan belanda.
Berdasarkan perjanjian KMB masalah Irian Barat
akan diselesaikan melalui perundingan, setahun setelah pengakuan
kedaulatan. Pihak Indonesia menganggap bahwa Belanda akan menyerahkan
Irian Barat pada waktu yang telah ditentukan. Sementara Belanda
mengartikan perjanjian KMB tersebut bahwa Irian Barat hanya akan
dibicarakan sebatas perundingan saja, bukan diserahkan. Berdasarkan
alasan tersebut maka Belanda mempunyai alasan untuk tetap menguasai
Indonesia. Akhirnya perundingan dengan Belanda inipun mengalami
kegagalan.
f. Diplomasi dalam forum PBB, yaitu dengan membawa masalah
Indonesia-Belanda ke sidang PBB. Dilakukan sejak Kabinet Ali
Sastroamijoyo I, Burhanuddin Harahap, hingga Ali Sastroamijoyo II.
Dikarenakan penyelesaian secara diplomatik
mengalami kegagalan dan karena adanya pembatalan Uni Indonesia-Belanda
secara sepihak maka Indonesia sejak 1954 melibatkan PBB dalam
menyelesaikan masalah Irian Barat.
Dalam sidang PBB Indonesia berupaya meyakinkan
bahwa masalah Irian Barat perlu mendapatkan perhatian Internasional.
Alasan Indonesia adalah karena masalah Irian Barat menunjukkan adanya
penindasan suatu bangsa terhadap hak bangsa lain.
Upaya melalui forum PBB pun tidak berhasil
karena mereka menganggap masalah Irian Barat merupakan masalah intern
antara Indonesia-Belanda. Negara-negara barat masih tetap mendukung
posisi Belanda. Indonesia justru mendapat dukungan dari negara-negara
peserta KAA di Bandung yang mengakui bahwa Irian Barat merupakan bagian
dari Negara Kesatuan republik Indonesia.
2. Perjuangan
Konfrontasi Politik, Ekonomi dan Militer
Karena perjuangan diplomasi baik bilateral
maupun dalam forum PBB belum menunjukkan hasil sehingga Indonesia
meningkatkan perjuangannya dalam bentuk konfrontasi. Konfrontasi
dilakukan tetapi tetap saja melanjutkan diplomasi dalam sidang-sidang
PBB. Konfrontasi yang ditempuh yaitu konfrontasi politik dan ekonomi,
serta konfrontasi militer.
Konfrontasi militer terpaksa dilakukan setelah
Belanda tidak mau berkompromi dengan Indonesia.
a. Konfrontasi
Politik dan Ekonomi
Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah
Indonesia terhadap aset-aset dan kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda
di Indonesia. Konfrontasi ekonomi tersebut sebagai berikut.
1) Tahun
1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB,
diumumkan pembatalan utang-utang RI kepada Belanda.
2) Selama
tahun 1957 dilakukan :
3) Selama
tahun 1958-1959 dilakukan :
Konfrontasi Politik dilakukan melalui tindakan
sebagai berikut.
1) Tahun
1951, Kabinet Sukiman menyatakan bahwa hubungan
Indonesia dengan Belanda merupakan hubungan bilateral biasa, bukan
hubungan Unie-Statuut.
2) Tanggal
3 Mei 1956, pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II,
diumumkan pembatalan semua hasil KMB.
3) Pada
tanggal 17 Agustus 1956 dibentuk provinsi Irian Barat
dengan ibukotanya kotanya di Soa Siu (Tidore) dan Zaenal Abidin Syah
(Sultan Tidore) sebagai gubernurnya yang dilantik tanggal 23 September
1956. Provinsi Irian Barat meliputi : Irian, Tidore, Oba, Weda, Patani,
dan Wasile.
4) 18 November 1957 terjadi Rapat umum pembebasan Irian Barat di
Jakarta.
5) Tahun 1958, Pemerintah RI menghentikan kegiatan-kegiatan
konsuler Belanda di Indonesia. Pemecatan semua pekerja warga Belanda di
Indonesia
6) Tanggal
8 Februari 1958, dibentuk Front Nasional Pembebasan
Irian Barat.
7) Tanggal
17 Agustus 1960 diumumkan pemutusan hubungan
diplomatik dengan Belanda.
b. Konfrontasi
Militer
Dampak dari tindakan konfrontasi politik dan
ekonomi tersebut maka tahun 1961 dalam Sidang Majelis Umum PBB terjadi
perdebatan mengenai masalah Irian Barat.
Diputuskan bahwa Diplomat Amerika Serikat
Ellsworth Bunker bersedia menjadi penengah dalam perselisihan antara
Indonesia dan Belanda.
Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana
Bunker, yaitu :
1. Pemerintah
Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
2. Setelah
sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk
menentukan pendapat apakah tetap dalam negara Republik Indonesia atau
memisahkan diri.
3. Pelaksanaan
penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu dua
tahun.
4. Guna
menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan
pemerintah peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun.
Indonesia menyetujui usul itu dengan
catatan jangka waktu diperpendek.
Pihak Belanda tidak mengindahkan usul
tersebut bahkan mengajukan usul untuk menyerahkan Irian Barat di bawah
pengawasan PBB. Selanjutnya PBB membentuk negara Papua dalam jangka
waktu 16 tahun.
Jadi Belanda tetap tidak ingin Irian Barat
menjadi bagian dari Indonesia. Keinginan Belanda tersebut tampak jelas
ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara Papua, lengkap
dengan bendera dan lagu kebangsaan.
Tindakan Belanda tersebut tidak melemahkan
semangat bangsa Indonesia. Indonesia menganggap bahwa sudah saatnya
menempuh jalan kekuatan fisik (militer).
Perjuangan melalui jalur militer ditempuh
dengan tujuan untuk:
Persiapan pemerintah untuk menggalang kekuatan
militer adalah :
Tindakan persiapan Indonesia tersebut dianggap
oleh Belanda sebagai upaya untuk melaklukan Agresi. Sehingga Belanda
kemudian memperkuat armada dan angkatan perangnya di Irian Barat dengan
mendatangkan kapal induk Karel Dorman.
Maka Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden
Sukarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta yang
telah dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional. Peristiwa ini menandai
dimulainya secara resmi konfrontasi militer terhadap Belanda dalam
rangka mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi.
Isi Trikora adalah sebagai berikut.
1) Gagalkan
Pembentukan Negara boneka papua buuatan Belanda
2) Kibarkan
Sang merah Putih di Irian Barat, Tanah air Indonesia
3) Bersiaplah
untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan
tanah air dan bangsa.
Selanjutnya, diadakan rapat Dewan Pertahanan
Nasional dan Gabungan Kepala Staf serta Komamndo Tertinggi Pembebasan
Irian Barat. Keputusan dari rapat tersebut adalah
sebagai berikut.
c. Konfrontasi
Total
Sesuai dengan perkembangan situasi Trikora
diperjelas dengan Instruksi Panglima Besar Komodor Tertinggi Pembebasan
Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala yang isinya
sebagai berikut.
Strategi yang disusun oleh
Panglima Mandala guna melaksanakan instruksi tersebut.
a. Tahap Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962),
yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar
sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang
kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan pengusaan
wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat.
b. Tahap Eksploitasi (awal 1963),
yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap
induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang
penting.
c. Tahap Konsolidasi (awal 1964),
yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan
menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian
Barat.
Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap
infiltasi, selanjutnya melaksanakan operasi Jayawijaya, tetapi sebelum
terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah dari presiden untuk
menghentikan tembak-menembak.
d. Akhir
Konfrontasi
Surat perintah tersebut dikeluarkan setelah
ditandatangani persetujuan antara pemerintah RI dengan kerajaan Belanda
mengenai Irian Barat di Markas Besar PBB di New York pada tanggal 15
Agustus 1962 yang selanjutnya dikenal dengan Perjanjian New York.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menlu Subandrio sementara itu Belanda
dipimpin oleh Van Royen dan Schuurman. Kesepakatan tersebut berisi.
1) Kekuasaan
pemerintah di Irian Barat untuk sementara waktu diserahkan pada UNTEA(United
Nations Temporary Executive Authority)
2) Akan
diadakan PERPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian
Barat sebelum tahun 1969.
Untuk menjamin Keamanan di Irian Barat
dibentuklah pasukan penjaga perdamaian PBB yang disebut UNSF
(United Nations Security Force) yang dipimpin oleh Brigadir
Jendral Said Udin Khan dari Pakistan.
Berdasarkan Perjanjian New York proses untuk
pengembalian Irian Barat ditempuh melalui beberapa tahap,
yaitu :
1. Antara
1 Oktober -31 Desember 1962 merupakan masa
pemerintahan UNTEA bersama Kerajaan Belanda.
2. Antara
1 Januari 1963- 1 Mei 1963 merupakan masa pemerintahan
UNTEA bersama RI.
3. Sejak
1 Mei 1963, wilayah Irian Barat sepenuhnya berada di
bawah kekuasaan RI.
4. Tahun
1969 akan diadakan act of free choice, yaitu
penentuan pendapat rakyat (Perpera).
Penentuan Pendapat rakyat (Perpera) berarti
rakyat diberi kesempatan untuk memilih tetap bergabung dengan Republik
Indonesia atau Merdeka.
Perpera mulai dilaksankan pada tanggal 14 Juli
1969 di Merauke sampai dengan 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasil Perpera
tersebut adalah mayoritas rakyat Irian Barat menyatakan tetap
berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hasil Perpera selanjutnya dibawa oleh Diplomat
PBB, Ortis Sanz (yang menyaksikan setiap tahap
Perpera) untuk dilaporkan dalam sidang Majelis Umum PBB ke-24.
Tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB
mengesahkan hasil Perpera tersebut.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar