Kesenjangan Pusat dan Daerah
BERBAGAI pergolakan atau pemberontakan yang terjadi di negara
Republik Indonesia pada umumnya terjadi karena ketidakpuasan pada
pemerintah pusat. Ada kesenjangan antara pusat dan daerah yang cukup
mencolok.
Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dan
Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) misalnya. Semula, gerakan itu
tidak tampak berniat ingin menghancurkan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Tetapi, pemberontakan itu akhirnya dikenal
sebagai “gerakan anti-Jawa”, karena kesenjangan pembangunan antara Pulau
Jawa dan luar Jawa dianggap semakin besar.
Sejak kemerdekaan diproklamasikan 1945, beberapa gerakan atau
pemberontakan demi memisahkan diri dari negara kesatuan, terjadi di
berbagai daerah, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai
Indonesia Bagian Timur.
Aceh
Gerakan di Aceh diawali oleh kekecewaan dan keresahan. Setelah
likuidasi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada Agustus 1950, daerah itu
begitu saja dimasukkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Selain itu,
mantan Gubernur Militer, Teuku Daud Beureueh, yang sangat berpengaruh di
Aceh, tidak diberi jabatan berarti. Tampaknya, pengambilan keputusan
oleh pemerintah pusat kurang didasari kepekaan terhadap perasaan rakyat
Aceh. Apalagi ada kebanggaan tersendiri pada masyarakat Aceh, melihat
wilayah Serambi Mekah itu suatu bagian republik yang tidak pernah
dimasuki penjajah Belanda. Gerakan di Aceh yang dikenal dengan nama
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan gerakan yang cukup alot. Meskipun
pemerintah terus berusaha menyelesaikan masalah GAM ke meja perundingan,
namun tidak pernah berhasil.
Terakhir, proses penyelesaian konflik di Aceh dengan jalan damai
antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan GAM berlangsung di Tokyo,
Minggu (18/5). Hasilnya, gagal. Maka secara resmi pemerintah Indonesia
memberlakukan Keputusan Pemerintah (Keppres) Nomor 28 Tahun 2003, yang
menetapkan seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dalam keadaan
bahaya dengan status darurat militer. Keputusan pemerintahan Presiden
Megawati itu merupakan keputusan tegas, dalam upaya agar Aceh tetap
berada dalam bingkai negara kesatuan RI.
Keputusan yang sama diambil Presiden Sukarno dalam menghadapi
pemberontakan PRRI/Permesta pada 16 Februari 1958. Ketika Sukarno
kembali dari luar negeri menegaskan, PRRI/Permesta harus dihadapi dengan
kekerasan senjata. Pemerintahan Megawati mengerahkan sekitar 28.000
personel TNI dan Polri ke Aceh untuk melancarkan operasi terpadu yang
meliputi operasi kemanusiaan, operasi penegakan hukum, operasi pemulihan
pemerintahan, dan operasi pemulihan keamanan. Bagaimana hasil dari
opersi di Aceh ini? kita harapkan semoga tidak mempunyai dampak yang
menyengsarakan rakyat.
Ketidakpuasan Penciutan Divisi
Dalam pemeriksaan itu, aparat tidak menemukan anggota GAM.
PEMBERONTAKAN PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)
merupakan suatu usaha menggalang kesatuan di antara pelbagai kelompok,
yang menolak konsepsi Presiden Soekarno dan pengaruh komunisme dalam
negara dan bangsa Indonesia.
Pergolakan pertama kali terjadi di Sumatera pada akhir 1956. Pada
awal 1957, muncul Dewan Banteng di Sumatera Tengah (Sumatera Barat dan
Riau) dipimpin Letkol Ahmad Husein, Dewan Gajah di Sumatera Utara
dipimpin Kolonel M Simbolon, dan Dewan Garuda di Sumatera Tengah
dipimpin Letkol Barlian.
Kesemuanya bergabung dalam PRRI.
Ketiga pemimpin Dewan itu perwira yang memegang komando di wilayah
masing-masing. Ketiganya lahir sebagai reaksi terhadap situasi bangsa
dan negara ketika itu. Awal pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah
(Sumatera Barat dan Riau) terjadi menjelang pembentukan RIS pada 1949.
Penciutan Divisi Banteng pada Oktober 1949 menjadi satu brigade terdiri
atas batalyon-batalyon besar di Sumatera Tengah, mengakibatkan sejumlah
prajurit terpaksa pulang ke kampung halaman, membawa kesedihan dan rasa
terhina. Selain itu, pembangunan di Sumatera Tengah terasa sangat lamban
dan menghadapi banyak masalah. Jalan-jalan yang menghubungkan daerah
pedalaman rusak berat. Tidak ada jalan baru yang menghubungkan kota
provinsi dengan wilayah pedesaan.
Ahmad Husein, yang dikenal kehebatannya pada masa perang kemerdekaan
melawan Belanda, dengan “Pasukan Harimau Kuranji”-nya yang sangat
ditakuti musuh, tidak senang melihat penciutan eks Divisi Banteng. Ia,
yang dilahirkan di Padang, 1 April 1925, juga pulang kampung.
Keadaan itu menggugah hati sejumlah perwira bekas Divisi Banteng yang
masih berdinas, serta menggugah pelbagai tokoh politik dan swasta yang
pernah bergabung dengan Divisi Banteng. Keprihatinan itu melahirkan
gagasan mencari penyelesaian dengan mengadakan pertemuan pada 21
September 1956 di kompleks Perfilman Persari milik Jamaluddin Malik di
Jakarta. Hadir 123 orang, di antaranya Ahmad Husein. Pertemuan berikut,
reuni di Padang pada 11 Oktober 1956.
Menyusul pertemuan lainnya di Aceh, Medan, dan Palembang. Bergabung
ke dalam jajaran panitia, Kolonel Ismet Lengah, Kolonel Dahlan Djambek,
dan Kolonel M Simbolon. Sebagai orang yang sangat disegani karena
kesediaannya mempertaruhkan jabatan dan karier demi perkembangan daerah,
Ahmad Husein mudah mengumpulkan banyak orang. Ia menjalin kerja sama
dengan pemuka adat, pemuka agama, pemerintah daerah, dan anggota
masyarakat lainnya. Reuni Divisi Banteng di antaranya menelurkan
keputusan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan negara, terutama
perbaikan progresif di tubuh angkatan darat. Di antaranya, dengan
menetapkan pejabat-pejabat daerah yang jujur dan kreatif.
Keputusan lain, menuntut agar diberi otonomi luas untuk daerah
Sumatera Tengah, serta menuntut ditetapkannya eks Divisi Banteng
Sumatera Tengah yang diciutkan menjadi kesatuan pelaksana proklamasi,
sebagai satu korps dalam angkatan darat.
Dewan Perjuangan
PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui Kabinet Djuanda.
Dewan Perjuangan PRRI membentuk kabinet baru, Kabinet Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI), yang antara lain terdiri
atas Syarifuddin Prawiranegara (Perdana Menteri dan Menteri Keuangan), M
Simbolon (Menteri Luar Negeri), Burhanuddin Harahap (Menteri Pertahanan
dan Menteri Kehakiman), Dr Sumitro Djojohadikusumo (Menteri
Perhubungan/Pelayaran). Pembentukan Dewan Kabinet itu berlangsung ketika
Soekarno berada di luar negeri.
Sekembali ke Indonesia, 16 Februari 1958 ia mengatakan, “Kita harus
menghadapi penyelewengan tanggal 15 Februaru 1958 di Padang dengan
segala kekuatan yang ada pada kita”. Ia memutuskan menggunakan kekerasan
senjata untuk menghadapi kekuatan Dewan Kabinet PRRI.
Pada 22 Desember 1956 melalui RRI Medan, Kolonel Simbolon mengumumkan
pemutusan hubungan wilayah Bukit Barisan dengan pemerintahan pusat. Ia
mengubah nama Kodam TT I menjadi Kodam TT I Bukit Barisan. Sama halnya
dengan Ahmad Husein, ia melihat sejak 1950 – 1956, masalah kesejahteraan
prajurit serta dana operasi militer menjadi masalah.
Gaji prajurit sangat minim. Yang lebih mendesak, perbaikan perumahan
dan asrama prajurit, karena asrama prajurit umumnya bekas asrama tentara
Belanda dan bekas barak kuli kontrak di zaman penjajahan.
Simbolon nekat mencari jalan sendiri membangun asrama dan perumahan
prajurit. Ia mencari dana dengan menjual hasil perkebunan di wilayah
Sumatera Utara. Ekspor hasil perkebunan dijual secara rahasia melalui
Teluk Nibung di muara Sungai Asahan Tanjung Balai. Namun, pers Ibukota
memberitakan penyelundupan itu dan Kasad memerintahkan memeriksa kasus
itu. Kasad pun bermaksud menggantikan Panglima TT I Bukit Barisan dengan
Kolonel Lubis.
Melihat situasi yang “gawat”, Simbolon mengadakan rapat perwira yang
disebut “Ikrar 4 Desember 1956.” Pada 27 Desember 1956 subuh, Simbolon
menerima berita ada pasukan yang diperintahkan menangkapnya. Dalam
situasi seperti itu, ia hanya bisa mengandalkan satu Batalyon 132 yang
dipimpin Kapten Sinta Pohan di Medan, yang tetap setia kepadanya.
Melalui pertimbangan matang Simbolon memutuskan bergerak ke daerah
Tapanuli, ke Resimen III Mayor J Samosir, yang juga bisa diandalkannya.
Tindakan itu diambilnya karena kalau bertahan di kota, pasti akan
terjadi pertempuran dan yang paling menderita adalah rakyat sipil. Ia
kemudian ke Padang, mengikuti kegiatan Dewan Banteng.
Di Sumatera Selatan, Dewan Garuda menjadi tuan rumah penyelenggaraan
pertemuan tokoh-tokoh militer di wilayah itu, menjelang Musyawarah
Nasional September 1957, yang melahirkan Piagam Palembang sebagai
landasan perjuangan bersama dari daerah-daerah bergolak. Namun sejak
awal terlihat tanda-tanda keretakan dalam tubuh Dewan Garuda.
Ketidakkompakan itu disebabkan tokoh-tokoh militer tetap berhubungan
dengan Kasad, sehingga segala perkembangan Dewan Garuda dapat diketahui
Jakarta.
Dewan Garuda bersifat mendua. Satu pihak lebih dekat ke Dewan
Banteng, ke pihak Ahmad Husein, pihak lain lebih dekat dengan Jakarta.
Pada saat Dewan Perjuangan membentuk PRRI, Sumatera Selatan mengambil
jalan berbeda dengan Dewan Banteng dan Permesta. Ketika terjadi konflik
senjata antara PRRI dan Jakarta, Letkol Barlian mengadakan rapat dan
mempengaruhi perwiranya tidak mengikuti Padang. Rupanya, pada saat itu
Kolonel dr Ibnu Sutowo berhasil mempengaruhi Barlian untuk tidak
bergabung dengan PRRI.
Ketidakpuasan Rasionalisasi
DUA tokoh dalam pergolakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), yang
paling menentukan dalam melahirkan gerakan pembangunan semesta
Indonesia Timur adalah Letkol HN (Ventje) Sumual dan Letkol M Saleh
Lahade. Mereka dijuluki “Dwitunggal Permesta”.
Pada 2 Maret 1957, sekitar 49 tokoh dan dua wartawan berkumpul di
Kantor Gubernur Makassar untuk mengesahkan piagam yang telah disusun
panitia.
Keseluruhan yang hadir menandatangani Piagam Perjuangan Semesta yang
dibacakan Letkol Saleh Lahade.
Di Sulawesi Utara (Sulut) Mayor JD Somba enggambarkan keadaan di
Sulawesi Utara, terutama menyangkut soal ekonomi dan keuangan. Di
wilayah itu, sejak 1 Maret 1957, usaha penduduk berupa hasil bumi kopra,
sudah dua bulan tidak dibayar pemerintah, Stok kopra dua bulan tidak
diangkut karena kesulitan transportasi. Gaji-gaji pegawai dua bulan
tidak dibayar, termasuk gaji pegawai di Poso.
Gambaran kehidupan di wilayah itu semakin suram. Pemerintah berutang.
Hasil kopra rakyat hanya dibayar dengan semacam kertas bon. Petani
tidak mempunyai uang untuk membeli bahan makanan. Untuk itu Permesta
Sulawesi Utara berusaha menyehatkan sektor ekonomi dan mengambil
kebijakan untuk menghapuskan monopoli.
Di Sulawesi Selatan, pemberontakan Kahar Muzakar berlangsung
bertahun-tahun. Muzakar yang pernah memimpin pasukan Sulawesi Selatan ke
Yogyakarta pada masa perang kemerdekaan, menyeberang kembali ke
Sulawesi Selatan, karena ketidakpuasannya kepada pemerintah yang
menetapkan rasionalisasi pada
pasukannya. Prajurit yang masih bisa dikaryakan ditampung sementara di
Corps Tjadangan Nasional, dan yang tidak memenuhi syarat dikembalikan ke
masyarakat.
Pemberontakan Kahar Muzakar sejak 1951 itu akhirnya berhasil ditumpas
pada Februari 1965. Suatu pasukan Yon 350 Kujang, Siliwangi, berhasil
menewaskan Kahar Muzakar. Penangkapan Menghadapi
pemberontakan-pemberontakan mulai dari Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI), Presiden Soekarno yang kembali dari luar
negeri memerintahkan penangkapan tokoh-tokoh PRRI seperti Syafruddin
Prawiranegara
(Perdana Menteri dan Menteri Keuangan), Burhanuddin Harahap (Menteri
Pertahanan dan Menteri Kehakiman), dan Soemitro Djojohadikusumo (Menteri
Perhubungan dan Pelayaran). Kasad pun memecat Letkol Ahmad Husein dari
Dewan Banteng di Sumatera Tengah (Sumatera Barat dan Riau) dan Kolonel M
Simbolon dari Dewan Gajah di Sumatera Utara.
Hubungan darat maupun udara dengan Sumatera Tengah dihentikan. Bung
Hatta sebagai Wakil Presiden, muncul ke depan. Ia mengirimkan utusan ke
Padang untuk menemui Ahmad Husein, dan meminta agar Dewan Banteng
menghindari konflik senjata. Tetapi, sayang kurir itu tidak sampai di
tempat. Hatta mendekati Soekarno untuk mencegah perang saudara, namun
usahanya disalahgunakan media massa tertentu. Usaha Hatta pun gagal.
Pada 20 dan 21 Februari 1958, pesawat tempur AURI mengebom kota Padang.
Ahmad Husein berseru kepada rakyat agar mendukung PRRI.
Pada sisi lain, pada 20 Mei 1958 Kasad memerintahkan penangkapan M
Saleh Lahade dan semua tokoh Permesta di Makassar. Selain Saleh Lahade,
ditangkap juga Mochtar Lintang, Anwar Bey, Nazaruddin Rachmat, Kaligis,
Bing Latumahina, dan Dr OE Engelen. Mereka ditahan di Madiun dan
Jakarta. Sementara itu, di Minahasa rombongan Sumual yang tengah membeli
senjata di Manila, mendengar pernyataan Dewan Perjuangan PRRI. Sumual
mengirim kawat kepada Somba untuk menunggu keputusannya sebab ia
memerlukan waktu untuk berhubungan dengan tokoh-tokoh Sulawesi Selatan.
Somba menyatakan dukungannya kepada PRRI, dan memutuskan hubungan
dengan Kabinet Djuanda.
Kasad pun memerintahkan untuk menangkap Letkol Somba, Mayor Dolf
Runturambi, Gubernur Manoppo, serta Jan Torar. Sumual masih menjalankan
strategi melancarkan tekanan-tekanan kepada Jakarta
agar mau berunding dengan PRRI. Dengan senjata dan pesawat tempur yang
dibelinya, ia berniat mengebom tangki-tangki bensin di Surabaya,
Bandung, Semarang, dan Jakarta. Ia merencanakan mendaratkan pasukan di
Cilincing Jakarta, untuk menekan kabinet agar mau berunding dengan PRRI.
Sumual merasa mendapat dukungan Balikpapan (Hartoyo), Bandjarmasin
(Kol Hasan Basri, Ketua Dewan Lampung Mangkurat), yang menyediakan
bandara untuk lepas landas pesawat tempur pengebom. Sumual merencanakan
serangan mendadak ke Jakarta pada saat pasukan pusat sedang memusatkan
perhatian ke Indonesia Timur dan Sumatera Tengah. Perang antara pusat
dan pemberontak PRRI maupun Permesta pada 1958 sampai 1961 sungguh
dahsyat. Daerah bergolak dengan hanya berkekuatan beberapa batalyon,
dibandingkan dengan pasukan pusat yang puluhan batalyon, infantri
khusus, angkatan darat, angkatan laut, dan dan angkatan udara. Dan,
menurut Panglima Wirabuana HN Sumual, perjuangan Permesta mulanya tidak
diawali niat memberontak atau menghancurkan dan melepaskan diri dari
negara
kesatuan RI.
Demikian juga yang dikemukakan PRRI atau Dewan Banteng, Dewan Gajah
dan Dewan Garuda. Dalam banyak tulisan, peristiwa PRRI/Permesta
didasarkan pada protes adanya kesenjangan pembangunan yang mencolok
antara pemerintahan pusat dan daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar