Pada zaman mesolitikum di Indonesia, manusia hidup tidak jauh berbeda
dengan zaman
paleolitikum, yaitu dengan
berburu dan menangkap ikan, namun manusia pada
masa itu juga mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok
tanam secara sederhana.
[2]
Tempat tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di
tepi pantai
(
kjokkenmoddinger) dan
goa-goa
(
abris sous roche) sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak
ditemukan berkas-berkas kebudayaan manusia pada zaman itu.
[2]
[sunting] Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur dari zaman mesolitikum
yang ditemukan di sepanjang pantai timur
Pulau Sumatera.
[3]
Hal ini diteliti oleh Dr. P. V. van Stein Callenfels pada tahun 1925
dan menurut penelitian yang dilakukannya, kehidupan manusia pada saat
itu bergantung dari hasil menangkap
siput dan
kerang
karena ditemukan
sampah kedua hewan tersebut setinggi 7 meter.
[3]
Sampah dengan ketinggian tersebut kemungkinan telah mengalami proses
pembentukan cukup lama, yaitu mencapai ratusan bahkan ribuan tahun.
[3]
Di antara tumpukan sampah tersebut juga ditemukan
batu
penggiling beserta landasannya (pipisan) yang digunakan untuk
menghaluskan cat merah.
[3]
Cat tersebut diperkirakan digunakan dalam acara keagamaan atau ilmu
sihir.
[3]
Di tempat itu juga ditemukan banyak benda-benda kebudayaan seperti
kapak
genggam yang disebut
pebble atau kapak genggam
Sumatera
(
Sumeteralith) sesuai dengan tempat penemuannya. Kapak tersebut
terbuat dari batu kali yang dibelah dua dan teksturnya masih kasar.
[3]
Kapak lain yang ditemukan pada zaman ini adalah
bache courte (
kapak pendek)
yang berbentuk setengah lingkaran seperti
kapak
genggam atau
chopper.
[3]
Berdasaran pecahan tengkorak dan
gigi yang
ditemukan pada
Kjokkenmoddinger, diperkirakan bahwa manusia yang
hidup pada zaman mesolitikum adalah bangsa Papua Melanesoide.(nenek
moyang suku Irian dan Melanesoid)
[3]
Abris Sous Roche
Salah satu peninggalan zaman mesolitik berupa
Abris sous roche.
Abris sous roche adalah
goa
menyerupai ceruk
batu karang yang digunakan
manusia sebagai tempat tinggal.
[3]
Penelitian mengenai kebudayaan
Abris sous roche ini juga
dilakukan oleh
van
Stein Callenfels pada tahun 1928-1931 di Goa Lawu dekat
Sampung, Ponorogo (
Madiun).
[4]
Alat-alat yang ditemukan lebih banyak terbuat dari
tulang
sehingga disebut sebagai
Sampung Bone Culture.
[4]
Di daerah
Besuki
(
Jawa
Timur), van Heekeren juga menemukan kapak
Sumatera
dan kapak pendek.
Abris sous roche juga ditemukan pada daerah
Timor dan
Rote oleh
Alfred
Buhler yang menemukan
flakes culture dari kalsedon bertangkai
dan hal ini diduga merupakan peninggalan bangsa
Papua
Melanesoide.
[5].
Hasil kebudayaan
Abris sous roche juga ditemukan di
Lamancong (
Sulawesi Selatan) yang biasa disebut kebudayaan
Toala[3].
Kebudayaan Toala ditemukan pada suatu goa yang disebut
Goa Leang
PattaE dan inti dari kebudayaan ini adalah
flakes dan
pebble[3].
Selain Toala, para ahli juga menemukan kebudayaan
Bacson-Hoabinh
dan
Bandung di Indonesia.
Bacson-Hoabinh
diperkirakan merupakan pusat budaya
prasejarah
Indonesia
dan terdiri dari dua macam kebudayaan, yaitu kebudayaa
pebble
(alat-alat tulang yang datang dari jalan barat) dan kebudayaan
flakes
(datang melalui jalan timur)
[3].
Sementara itu, penelitian kebudayaan
Bandung dilakukan oleh
van
Koenigswald di daerah
Padalarang, Bandung Utara,
Cicalengka, BanjarabSoreang, dan sebelah barat
Cililin. Kebudayaan yang ditemukan berupa
flakes
yang disebut
microlith (batu kecil), pecahan
tembikar,
dan benda-benda
perunggu[3].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar